wall of tolerance

(picture : wall of tolerance by Anagard)

“Gereja-gereja menggerak-gerakkan setan-setanan kepada kita! Mereka ubah Tuhan kita, Ibu. Telah membaptiskan pula! Mereka memberi pakaian kebohongan dalam fitnah kepada Dia; mencacatkan wajah Tuhan untuk membunuh sanubari kita!” kata-kata itu diambil dari Novel berjudul Ibunda karya Marxim Gorki yang diterjemahkan oleh Pramudya Ananta Toer. Tokoh Pavel mencoba menjelaskan tentang Tuhan yang waktu itu Tuhan harus dipatuhi dimata masyarakat (umatNya) namun sayangnya para priyayi mengatasnamakan Tuhan untuk menakut-nakuti dan mengikuti kemauan jahat segolongan kecil manusia. Tokoh Pavel sendiri dinamakan bidah oleh Tokoh Ribin karena Pavel tidak pergi ke gereja. Padahal Ribin juga mengatakan bahwa dirinya tidak ke gereja. Tapi kenapa Pavel dinamakan bidah dan Ribin sendiri tidak?

Novel “Ibunda” memang menceritakan tokoh-tokoh yang berjuang untuk keadilan dan melawan penindasan, menyatukan kaum buruh dan membangun sistem yang mensejahterakan semua umat. Tokoh Pavel berpendapat bahwa agama mereka kurang baik yang kemudian langsung dibantah oleh Ibunda, sosok yang menghormati dan memuliakan kepercayaan, meminta agar tidak berkata keras yang menerjemahkan keingkarannya. Pavel tidak membicarakan Tuhan yang Mahabaik dan Mahapengampun yang dipercayai Ibunda namun Tuhan yang dipergunakan pendeta untuk menakut-nakuti, “mereka bahkan menyodorkan Tuhan palsu kepada kita! Memerangi kita ini dengan segala-galanya yang bisa mereka pergunakan!” tambahnya.

Membaca kata-kata yang disampaikan Tokoh Pavel membuat saya teringat soal agama yang menjadi alat komersil. Seakan manusia dapat dengan mudahnya menghakimi orang atas nama agama. Pernah ku ditanya temanku, “Kok bisa sih pakai kerudung bawa bir?”, kata-kata “kok bisa” seakan tidak membisakan perempuan yang memakai kerudung untuk membawa bir. Kalau kupikir-pikir kembali Tuhan pun tidak melarang bahkan kuingat-ingat yang diharamkan adalah memakan atau meminum sesuatu yang memabukan. Sekali lagi “kok bisa sih?” ya memang bisa.

Terkadang orang memang bisa mengerutkan dahinya dengan keheran-heranan masuk kafe yang penuh bir. Mereka kadang juga menghakimi orang-orang seperti itu, yang ada di otaknya “orang-orang kafe adalah orang yang buruk dan tidak pantas untuk didekati.” Salah satu ormas pernah membuat rusuh area Prawirotaman, tempat peristirahatan para bule yang tentunya disana banyak kafe yang menjual bir bahkan juga wine. Manusia memang berbeda dengan manusia yang lainnya tentunya kita tidak bisa mencetak manusia patuh kepada A, merekapun memiliki kehidupan dengan caraya sendiri. Kenapa tidak menerapkan toleransi? Manusia mendambakan kehidupan yang damai tanpa kerusuhan bukan?

Pernah kubaca tentang Dark Age atau abad kegelapan dimana agama dijadikan alat untuk penindasan di Eropa. Para pastur dan pendeta  dengan mudahnya melakukan hal-hal yang sewenang-wenang, misalnya merampas tanah rakyat. Sungguh kehidupan sangat tidak berpihak pada rakyat, namun atas nama Tuhan menjadikan kehidupan dogmatis, tidak membuka ruang demokrasi karena kebenaran datang dari aturan-aturan gereja “barangsiapa yang menolak maka dihukum”, bahkan orang-orang gereja makmur secara ekonomi, kaya sendiri tanpa membagi-bagikannya kepada rakyat. Doktrin yang harus dipatuhi menjadikan mereka tunduk dan patuh tanpa memikirkan ulang akibatnya, ya akibatnya para priyayi gereja sewenang-wenang dengan mengatasnamakan Tuhan.

Salah satu agen yang menamakan dirinya agen provokator, @antitankproject, sering kubaca caption-captionnya di Instagram, tentang orang-orang yang mengatasnamakan Tuhan untuk menindas, membubarkan diskusi yang notabene diskusi-diskusi intelektual, membubarkan nonton dan bedah film yang notabene untuk membuka kesadaran masyarakat yang saat ini terbuntui oleh orde baru karena sejarah yang telah diputarbalikannya, adalah ormas ngacengan. Apa-apa dilarang. Apa-apa dibubarkan. Langsung ngaceng. Membubarkan hal-hal yang mereka tuduh kafir dengan mengatasnama Tuhan. Agen provkator tersebut bertempat di Jogya, propaganda mereka saat ini salah satunya “Jogja Intoleransi” karena praktek-praktek ormas ngacengan yang sering membubarkan dan seenak jidatnya melarang agenda-agenda anak muda yang ingin menyadarkan masyarakat lewat aksi diskusi, pameran seni dan agenda lainnya. Ruang-ruang demokrasi semakin sempit yang sayangnya dapat membikin otak-otak generasi Indonesia menjadi buntu. Maka hal-hal seperti itu harus dilawan, mempertahankan ruang adalah kebutuhan untuk mengekspresikan diri dan yang terpenting untuk kepentingan rakyat.